Nasib Pendidikan Di Daerah Pelosok

Berjalannya Otsus, nasib pendidikan di Papua masih tetap sangat memprihatinkan. Di sini seorang guru harus beperan aktif untuk sebuah kemajuan, diantaranya memberikan hatinya untuk anak-anak didik.

Pendidikan di Papua, terutama di daerah pegunungan begitu memprihatinkan, salah satunya akibat oknum guru yang tidak pernah memberikan hatinya secara sungguh-sungguh untuk mendidik anak-anak Papua yang tidak berdaya. Ini harus menjadi perhatian yang serius dari seluruh komponen, baik pemerintah maupun masyarakat setempat.

Hal ini di tegaskan Pisai Wea, Tokoh Intelektual masyarakat Pegunungan tengah sekaligus anggota dewan di Kabupaten Puncak Jaya ketika di hubungin JUBI, Jumat, (15/01) kemarin.

Menurutnya pendidikan di Papua bisa maju, jika seorang guru betul-betul berkomitmen untuk membangun anak-anak Papua, dan punya hati untuk merubah wajah pendidikan Papua yang telah lama buruk.

“Pengamatan saya, belum ada guru yang punya hati untuk membangun pendidikan di Papua, jika ada hanya bisa di hitung dengan jari,” pungkasnya.

Lebih lanjut menurutnya bahwa seorang guru harus tahu, bahwa mengajar dan mendidik anak-anak Papua adalah tugas mulia yang amalnya begitu besar.

“Meraka yang mengajar dan mendidik anak-anak Papua akan mendapat amal yang besar dari pencipta, itu harus di ketahui seorang guru,” tegasnya optimis.

Harapannya, dengan dan Otsus yang sekian banyak, pendidikan di Papua bisa mengalami perubahan, serta memberikan kesejahteraan yang layak kepada guru-guru agar mereka betah untuk mengajar di daerah pedalaman.

“Saya optimis, wajah pendidikan di Papua akan berubah, jika guru-guru lebih di perhatikan, serta alokasi dana Otsus untuk pendidikan tepat pada sasaran,” tegas anggota dewan termuda dari fraksi PKDI ini optimis.

Potret Ketidak Pedulian Pemerintah Untuk Pendidikan Di Negri ini

BEKASI — Sekolah Dasar Tanjung Sari 03 yang berada di tengah perkotaan seharusnya bisa memberikan fasilitas yang baik dan layak. Namun demikian, pendidikan di SD Negeri Tanjung Sari 03 kondisinya memprihatinkan.

Sekolah yang berada di Kampung Panjang RT. 08/04, Desa Tanjung Sari, Kecamatan Cikarang Utara, itu terlihat gedung bangunannya sudah tak layak. Ironisnya sekolah tersebut berada dekat dengan kawasan industri ternyata sarana dan prasarananya tidak layak dan tidak lengkap.

Kepala SDN Negeri Tanjung Sari 03 Zenal Abidin mengatakan sekolahnya yang berdiri di tanah seluas 6.000 meter secara fisik banguanannya sangat mengkhawatirkan dengan kayu yang sudah lapuk, dinding yang bolong melompong tak satupun interknit sebagai pelapisnya.

Zenal mengatakan dari 8 ruang kelas yang dibangun sejak tahun 1976 hanya 3 ruang kelas yang baru mendapatkan renovasi pada tahun 2005, sementara 4 ruang kelas belum mendapatkan bantuan untuk perbaikannya. Dengan kondisi bangunan seperti itu bagi Zenal tak membuatnya terkejut dengan berkurangnya siswa yang mendaftara setiap tahunnya ke sekolah yang di pimpinnya saat ini.

“Saat ini kita hanya memiliki 171 siswa, hal ini karena bangunan sekolah sudah tak layak pakai untuk proses kegiatan belajar mengajar (KBM),” ujaranya. Apabila hujan, ia bersama siswanya juga mengalami nasib yang sama yaitu kedinginan karena genteng yang bocor sehingga menyebabkan air hujan masuk ke dalam ruang kelas.

Kepala UPTD PAUD/ SD Kecamatan Cikarangng Utara, H. Rukmin saat di temui mengatakan pembangunan SD Negeri Tanjung Sari 03 akan menjadi prioritas pada usulan anggaran untuk mendapatkan renovasi sehingga para siswa bisa merasakan kenyamanan pada saat mengikuti pelajaran berlangsung.

SEKOLAH RAKYAT, CERMIN BURUKNYA PENDIDIKAN DI INDONESIA

Jakarta. SUARA PEMBANGUNAN

MENDENGAR nama Sekolah Rakyat (SR), masih teringat dengan zaman penjajahan Jepang. Sebelum berganti nama Sekolah Dasar (SD), SR sangat melekat sekali dengan pendidikan anak-anak Indonesia di masa itu.

Tentu saja, kita terpana dengan kondisi saat ini, Indonesia sudah merdeka setengah abad lebih. Bahkan, sudah lima kali berganti presiden, tapi masih terdapat anak-anak kurang mampu yang tidak bisa mengeyam pendidikan dengan baik.

Ironis memang, tapi itulah potret nyata yang terjadi di negeri tercinta ini dan ini juga penyebab kemerosotan pendidikan Indonesia, dimana ditandai dengan meningkatnya jumlah anak putus sekolah usia SD. Belum lagi mereka yang tidak melanjutkan ke tingkat SMP. Penyebab utamanya adalah ketidakmampuan masalah biaya sekolah.

Atas dasar itu, upaya pihak-pihak terkait memberikan fasilitas untuk memutus rantai kemiskinan keluarga dengan mendirikan sekolah rakyat bagi orang miskin, patut diapresiasi.

Adalah Yayasan Sekolah Rakyat Indonesia (YSRI) cikal bakal berdirinya Sekolah Rakyat Ancol (SRA) yang kini sudah meluluskan ratusan siswa didik putus sekolah.

Yanuar yang merupakan ketua yayasan mengatakan, YSRI berdiri tidak sengaja dari sebuah keadaan. Waktu itu, krisis moneter melanda Tanah Air pada 1998. Ekonomi lesu, rakyat semakin miskin dan terpuruk, anak-anak seharusnya dijam-jam belajar berada di ruang kelas, bukan sibuk menjajakan dagangannya atau menawarkan jasa semir sepatu.

Akhirnya, pada 2001 lahirlah SMP terbuka yang diberi nama SRI (Sekolah Rakyat Indonesia), seperti dikutip dari buku “Membangun Impian Anak Negeri”. Pertama lima kelas dibuka dan lokasi kegiatan belajar mengajar menumpang di Masjid, kantor RW atau ruang apa saja yang bisa dipakai untuk menumpang 15 murid.

Berangkat dari situ, mulailah YSRI mencari murid lainnya, mencari buku tambahan, dan mencari tenaga didik relawan yang berasal dari kalangan mahasiswa.

Namun dalam perjalanannya bukanlah pekerjaan mudah. Meski ditawarkan cuma-cuma/gratis, tapi bukan jaminan mendapatkan murid dengan mudah.

Banyak orang tua tidak yakin bahwa keputusan memasukkan anaknya bersekolah merupakan langkah awal untuk menyongsong masa depan kehidupan yang lebib baik. Mereka lebih suka anaknya menjadi salah satu sumber instant pencaharian ekonomi keluarga. Tampak sekali bahwa kesadaran akan pentingnya pendidikan belum tumbuh di antara warga.

Untuk mendapatkan murid, para guru harus berjalan berkeliling menelusuri gang-gang sempit dari rumah ke rumah mencari anaknya yang putus sekolah. Iming-iming gratis, tidak cukup membuat para orangtua tertarik dan mendaftarkan anaknya.

Pemerintah Tak Tahu

Berdirinya sekolah rakyat sejak 10 tahun silam yang berlokasi di Bekasi dan Ancol, hingga kini keberadaanya belum diketahui oleh pemerintah. Padahal, sekolah rakyat jelata itu, banyak meluluskan anak-anak miskin pinggiran ibu kota.

Entah apa alasan Dirjen Pendidikan Dasar Kemendiknas, Suyanto yang hingga kini mengaku belum mengetahui keberadaan sekolah rakyat itu. Baginya, sekolah rakyat itu hanya sebuah brand image saja.

“Mungkin itu hanya sebuah brand image sama seperti sekolah duafa, sekolah miskin dan lainnya. Sekolah bagi orang yang kurang mampu,” ujar Suyanto kepada okezone.

Meski begitu, pemerintah sudah berupaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Jumlahnya tidak kecil, dna itu sudah ada sejak 2005. Untuk tahun 2012 ini mencapai peningkatan fantastis Rp23,59 triliun, jika sebelumnya hanya Rp16,81 triliun (2011).

Dengan angka itu, mengapa masih ada masyarakat miskin yang hingga kini belum menikmati pendidikan layak. Praktisi pendidikan, Arif Rahman menilai, itulah potret pendidikan di Indonesia yang hingga saat ini masih sangat memprihatinkan.

Selain mahalnya biaya pendidikan saat ini, permasalahan yang banyak disoroti dalam dunia pendidikan saat ini adalah rendahnya fisik bangunan sekolah, sumber daya manusia (kualitas guru), kesejahteraan guru, prestasi siswa.

Mahalnya biaya pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.

“Ya orang miskin tidak boleh sekolah. Pendidikan berkualitas tidak mungkin murah. Tetapi seharusnya siapa membayarnya?,” tanya Arif saat berbincang-bincang dengan okezone.

Pemerintahlah yang sebenarnya berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin masyarakat bawah untuk
mendapatkan pendidikan bermutu.

Menurutnya, pemerintah disini harus bertanggung jawab dari infrastruktur dan material. Dimana pemerintah mewajibkan belajar 9 tahun. Tak hanya itu saja selain pemerintah, LSM, masyarakat pada umumnya juga membantu. dan bagi yang berprestasi masuk ke sekolah negeri harus gratis.

Ia melihat, lembaga yang peduli dalam mencerdaskan masyarakat kurang beruntung adalah Sekolah Rakyat Bekasi. Dimana sekolah ini menyadarkan kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi masa depan anak bangsa.

“Sekolah yang diperuntukan bagi masyarakat kurang mampu itu juga harus didukung oleh fasilitas sarana fisik, kualitas guru, prestasi siswa juga harus ditingkatkan, serta pemerataan pendidikan. Jangan sampai pemerintah menambahi jumlah warga miskin yang tidak bisa bersekolah,” jelas Arif.

Karena itu, diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah pendidikan di Indonesia.

Angka Putus Sekolah

Dunia seakan tercengang ketika mengetahui tingginya angka putus sekolah di Indonesia mulai dari jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya.

Peringkat Indonesia dalam rilis yang dikeluarkan Organisas Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNESCO), mengalami penurunan. Indeks pembangunan pendidikan Indonesia dalam EFA Global Monitoring Report 2011,  peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara.

Anak-anak putus sekolah usia SD dan yang tak dapat ke SMP tercatat 720.000 Siswa (18,4 persen) dari lulusan SD tiap tahunnya. Semua itu karena faktor ekonomi. Ada anak yang belum pernah sekolah, ada yang putus di tengah jalan karena ketiadaan biaya.

Setidaknya ada empat persoalan yang membuat angka putus sekolah masih cukup tinggi. Pertama, kemiskinan yang hingga kini belum sepenuhnya
teratasi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan pada Maret 2011, terdapat 30,02 juta orang miskin atau hanya turun 1 juta orang dibanding tahun sebelumnya. Kemiskinan jelas menjadi momok dalam dunia pendidikan.

Bahkan, Bagian Perencanaan dan Penganggaran Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kemendiknas mengungkapkan, saat ini jumlah siswa miskin di Indonesia hampir mencapai 50 juta.

Jumlah tersebut terdiri dari 27,7 juta siswa di bangku tingkat SD, 10 juta siswa tingkat SMP, dan 7 juta siswa setingkat SMA. Dari jumlah itu, sedikitnya ada sekitar 2,7 juta siswa tingkat SD dan 2 juta siswa setingkat SMP yang terancam putus sekolah.

sumber: okezone.com – Dina Kusumaningrum – Rabu, 15 Februari 2012

posting: bambangwg@suarapembangunan.net

Nasib Pendidikan Anak di Pelosok Daerah

Anak harus bekerja membantu orang tua, menjadi salah satu penyebab putus sekolah/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA–Satu juta lebih anak rentang usia 7-15 tahun (SD dan SMP) setiap tahun putus sekolah. Terutama anak-anak di pelosok daerah terpencil.

Ada berbagai faktor yang membuat anak di pelosok daerah terpencil putus sekolah, yakni tidak ada biaya, lokasi sekolah lanjutan jauh, terbatasnya transportasi, dan karena harus bekerja membantu orangtua.

Berdasarkan penelitian World Vision Indonesia, di sekolah-sekolah terpelosok juga masih ditemukan oknum guru yang berbisnis buku untuk mencari keuntungan. Praktik diskriminasi terhadap murid juga sering dirasakan siswa.

Siswa yang aktif diperhatikan dan siswa yang kurang aktif terabaikan. Bahkan, transaksi jual beli nilai pun masih terjadi.

”Masih ada guru yang mengajar dengan cara kekerasan. Selain itu, ada juga anak-anak yang putus sekolah karena pergaulan bebas,” ujar Arevi Yestia, salah seorang siswa yang tergabung dengan Forum Pemimpin Muda Nasional (FPMN), kepada Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Fasli Jalal, di Kantor Kementerian Pendidikan Nasional, Kamis (8/7).

Menurut Arevi, orangtua dan sekolah seharusnya dapat memberi motivasi dan memfasilitasi anak sehingga anak terpacu untuk sekolah. Pemerintah juga diminta tanggap terhadap permasalahan anak-anak di daerah pelosok atau terpencil.

Sera, siswa SD dari Wamena, Papua, menambahkan, di SD tempatnya bersekolah hanya ada tiga guru yang mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6. “Semua guru mengajar di semua kelas,” ucapnya.

Wamendiknas Fasli Jalal mengakui sekitar 3-4 persen anak di pelosok belum terjangkau pendidikan. Hal itu disebabkan banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya, sementara kemampuan pemerintah terbatas.

Fasli menyebutkan, untuk pendidikan anak usia dini, ada sekitar 28 juta anak di seluruh Indonesia yang harus dilayani pendidikannya. Ditambah lagi 4 juta anak yang lahir setiap tahunnya.

Sementara itu, untuk pendidikan wajib belajar sembilan tahun, ada 29 juta anak yang harus dilayani karena ada anak yang belum waktunya masuk SD sudah masuk atau telat masuk SD. Di tengah banyaknya jumlah anak yang harus dilayani pendidikannya itu, sekolah di daerah- daerah memang jauh dari pemukiman masyarakat dan dari segi jumlah masih perlu penambahan.

Sekolah SD dan SMP satu atap, kata Fasli, merupakan salah satu solusi agar anak di pelosok dapat terlayani pendidikannya sehingga mengurangi anak yang putus sekolah. Di samping itu, ia juga berjanji akan menambah guru di daerah pelosok yang masuk dalam kategori sangat kurang guru.

Nantinya, Fasli berjanji akan mengkoordinasikan dengan dinas pendidikan daerah. Dia juga menyesalkan jika masih ada guru yang melakukan cara kekerasan dalam mengajar di kelas. ”Seharusnya guru menciptakan suasana kelas yang menyenangkan. Dan sudah jelas transaksi apa pun, termasuk transaksi jual beli buku dan nilai itu dilarang,” tegasnya.

Pendidikan Karakter Untuk Membangun Manusia Indonesia Yang Unggul

Ada sebagian kecil kalangan berpandangan bahwa Pemerintah kurang serius dalam membenahi sektor pendidikan. Sesuatu yang debatable karena dari berbagai sudut pandang dan dimensi, pemerintah sangat berkomitmen untuk meningkatkan taraf pendidikan. Mulai dari 20% anggaran khusus untuk pendidikan,  pembangunan bangunan sekolah-sekolah yang rusak, peningkatan taraf hidup dan kualitas guru dan lain-lain.

Pendidikan adalah elemen penting dalam pembangunan bangsa karena melalui pendidikan, dasar pembangunan karakter manusia dimulai. Yang masih hangat dalam pikiran penulis, yang terlahir di era 70-an, di sekolah dasar kita dibekali pendidikan karakter  bangsa seperti  PMP dan PSPB sampai akhirnya diberikan bekal lanjutan model Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pendidikan karakter merupakan salah satu hal penting untuk membangun dan mempertahankan  jati diri bangsa.  Sayang, pendidikan karakter di Indonesia perlu diberi perhatian lebih khusus karena selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai. Pendidikan karakter yang dilakukan belum sampai pada tingkatan interalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan di Indonesia saat ini cenderung lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan dan  kecerdasan, namun mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan. Sebagian orang mulai tidak memperhatikan lagi bahwa pendidikan tersebut berdampak pada perilaku seseorang. Padahal pendidikan diharapkan mampu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik , dan harus sejak dini. Meski manusia memiliki karakter bawaan, tidak berarti karakter itu tak dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan yang terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik dan tidak terlepas dari faktor lingkungan sekitar. Era keterbukaan informasi akibat globalisasi mempunyai faktor-faktor negatif antara lain mulai lunturnya nilai-nilai kebangsaan   yang dianggap sempit seperti patriotisme dan nasionalisme yangdianggap tidak cocok dengan nilai-nilai globalisasi dan universalisasi.

Kekhawatiran terhadap pembangunan karakter bangsa yang dimulai dari pendidikan usia dini menjadi perhatian khusus dari Presiden SBY. Dalam beberapa kesempatan Sidang Kabinet, Presiden dan Wakil Presiden mendiskusikan hal-hal yang menjadi perhatian masyarakat dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain masih adanya isu dan tantangan sosial yang seharusnya dapat dipecahkan atas hasil kontribusi sektor pendidikan. Sebagai contoh, meskipun bangsa ini telah memiliki falsafah Pancasila dan ajaran agama, tetapi masih banyak terjadi aksi kekerasan antar komunal atau antar umat beragama.

Presiden dalam kunjungannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat memberikan arahan dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 31 Agustus 2012 yang membahas Program Strategis Pemerintah di bidang Pendidikan berharap perlu ada kontribusi yang dapat disumbangkan oleh sektor pendidikan untuk memperkuat toleransi, baik nilai sikap mental dan perilaku bagi bangsa yang majemuk untuk lebih baik lagi. Sikap toleransi harus dibangun, diajarkan, dan diperkuat kepada anak didik hingga tingkat wajib belajar 9 atau 12 tahun, sehingga diharapkan dapat membuahkan sesuatu yang baik. Wajib belajar 9 tahun dapat dikatakan sebagai formative years, yaitu waktu untuk membentuk karakter, nilai, sikap, dan perilaku bagi perjalan kehidupan manusia. Jika pemerintah dapat mengajarkan sikap toleransi dengan metodologi yang tepat, maka hal ini akan melekat lama.

Tidak hanya dalam kesempatan di Sidang Kabinet, dalam beberapa acara antara lain National Summit  dan Peringatan Hari Ibu, Presiden SBY menekankan pentingnya nation character building . Kutipan pernyataan Presiden SBY adalah sebagai berikut:  “Dalam era globalisasi, demokrasi, dan modernisasi dewasa ini, watak bangsa yang unggul dan mulia adalah menjadi kewajiban kita semua untuk membangun dan mengembangkannya.  Character building penting, sama dengan national development yang harus terus menerus dilakukan. Marilah kita berjiwa terang, berpikir positif, dan bersikap optimistis. Dengan sikap seperti itu, seberat apapun persoalan yang dihadapi bangsa kita, insya Allah akan selalu ada jalan, dan kita akan bisa terus meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia”.

Poin dari pernyataan di atas adalah pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus kita jalankan semua, mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul yang disampaikan oleh Presiden SBY yaitu :

  1. Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik;
  2. Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;
  3. Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar kemajuan;
  4. Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam setiap kesulitan;
  5. Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa,Negara dan tanah airnya.

(Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional  2011, Jumat 20Mei 2011)

Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of knowledge, tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character building dan perilaku. Dengan hakekat pendidikan dan dibangun metodologi yang tepat, maka diharapkan dapat dibangun intellectual curiosity dan membangun common sense. Tidak bisa ditunda lagi, generasi penerus bangsa harus serius untuk dibekali pendidikan karakter agar dapat memenuhi 5 nilai manusia unggul di atas